Indonesia Darurat Bocil! Anak-anak Semakin Langka, Bangku SD Kian Kosong, Apa Penyebabnya?

JAKARTA, iNewsPemalang.id - Populasi generasi Z dan generasi Alpha di Indonesia menurun drastis. Hal itu dapat dilihat dari jumlah murid baru di sekolah dasar (SD) setiap tahunnya yang semakin sedikit. Bahkan beberapa SD ada yang tak mendapat siswa sama sekali untuk kelas satu.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat jumlah anak usia 0-4 tahun pada 2018 masih 23,7 juta. Angka ini secara stagnan mengalami penurunan di kisaran 22 juta setelah lima tahun kemudian. Bahkan pada 2020-2021 sempat turun drastis.
Angka jumlah bocah cilik (bocil) ini jika dibandingkan dengan jumlah sekolah dasar di Indonesia, sangat jomplang. Di setiap tahun ajaran baru untuk tingkat pendidikan dasar jumlah murid semakin berkurang. Akibatnya beberapa skolah dasar terpaksa ditutup atau digabungkan menjadi satu dengan yang lainnya.
Meski di 2025 sedikit meningkat ke 22,7 juta, tetapi populasi balita Indonesia tidak lagi tumbuh seperti dekade sebelumnya, jumlah murid SD terus merosot.
Ironis memang, semakin bertambah sekolah, malah semakin sedikit murid yang mengisinya.
Untuk diketahui, pada 2016 ada 25,6 juta siswa, kini hanya 23,9 juta pada 2024. Padahal jumlah bangunan SD bertambah dari 61.566 unit di 2003 menjadi 72.470 di 2024.
Fenomena ini bukan tanpa sebab. Tingkat fertilitas (kesuburan: kemampuan alami untuk menghasilkan keturunan) nasional terus menurun, terutama di kota besar. Jakarta misalnya, mencatat Total Fertility Rate hanya 1,75-terendah di Indonesia, dan jauh di bawah ambang pengganti generasi 2,1.
Selain itu, biaya hidup yang tinggi, pendidikan perempuan yang semakin maju, urbanisasi, dan akses kontrasepsi yang lebih luas membuat banyak pasangan menunda punya anak, atau membatasi untuk memiliki anak.
Di balik angka kelahiran yang menurun di masyarakat, ada beban finansial yang membayangi mereka. Seperti menghitung biaya bahwa membesarkan satu anak di kota besar bisa menghabiskan Rp700 juta hingga Rp1,3 miliar hingga mereka dewasa. Belum lagi kekhawatiran orang tua soal masa depan anak.
Semua itu tentu bukan tanpa alasan. Mulai dari harga kebutuhan pokok yang terus naik, ancaman PHK, hingga ketidakpastian ekonomi, membuat para pasangan rumah tangga menjadi pesimis untuk memiliki anak.
Bayangkan! Jika tren ini terus berlanjut, maka sekolah dasar akan menghadapi tantangan efisiensi. Ruang kelas berpotensi kosong, alokasi guru dan anggaran menjadi kurang optimal, dan distribusi sekolah harus dievaluasi ulang.
Jumlah murid yang terus menurun juga akan berdampak pada rasio guru terhadap siswa. Di satu sisi membuka peluang untuk meningkatkan kualitas pengajaran, tapi sekaligus menimbulkan dilema biaya operasional.
Menyusutnya jumlah generasi Z dan generasi Alpha tentu akan berdampak pada struktur tenaga kerja di masa depan. Artinya, akan lebih sedikit angkatan kerja produktif untuk 20 tahun mendatang.
Editor : Aryanto