SEMARANG, iNewsPemalang.id - Dalam sepekan terjadi dua kasus dugaan mahasiswi bunuh diri di Kota Semarang secara berturut di dua hari pada minggu yang sama, yakni Selasa (10/10/2023) dan Rabu (11/10/2023).
Peristiwa dugaan kasus bunuh diri 2 mahasiswi itu pun mengundang perhatian publik dan menjadi sorotan para pemerhati sosial dan psikolog.
Menurut Psikolog Polda Jateng, AKBP Novian Susilo, peristiwa bunuh diri merupakan insiden yang tidak terjadi secara tiba-tiba atau spontanitas.
Seseorang nekat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri tentu ada proses tertentu, hingga akhirnya mengambil keputusan jalan pintas itu. Dalam hal ini, support system dan perhatian dari lingkungan sangat berpengaruh sebagai pencegahan perilaku tersebut.
“Mahasiswi pada level remaja dan dewasa awal, itu fase belajar mandiri dan mencari jati diri," ungkapnya pada iNews.id, Kamis (12/10).
"Perempuan depresinya tinggi, tergantung dukungan lingkungan, kalau tidak ada keluarga, tidak pernah ngobrol, ya susah,” imbuhnya.
Dia menyebut, dalam psikologi, ada perilaku meniru cara menyelesaikan masalah. Termasuk adanya surat terakhir yang dituliskan korban. Jika membedah isi surat terakhir para korban, menurutnya, ada sisi positif dan negatifnya.
Sisi positifnya, menurutnya, bisa menjadi edukasi. Misalnya mencari tahu apa keinginan orang tua korban, atau ada persoalan apa hingga korban harus nekat bunuh diri mengakhiri hidupnya.
"Namun, sisi negatifnya adalah bisa ditiru oleh orang lain yang kebetulan pada saat bersamaan punya persoalan yang sama, atau istilahnya copy cat," ujarnya.
Novian mengatakan, dalam kasus-kasus seperti itu yang terjadi di wilayah hukum Polda Jateng, pihaknya bekerja dengan penyidik Reserse Kriminal, bersamaan.
Pihaknya mengimbau, ketika ada dugaan bunuh diri, orang tua seharusnya lebih terbuka ketika dilakukan penyelidikan termasuk bagian psikologi menggali informasi.
“Jadi bisa terbuka apa motifnya, ini bisa mengedukasi (agar tidak jadi contoh bagi yang lain),” kata Novian.
Sementara itu, menurut Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Sri Aryanti Kristianingsih menjelaskan, peristiwa bunuh diri diawali dari unsur niat, dan dipengaruhi faktor internal berupa kemampuan copying termasuk karakteristik dan kebiasaan menyelesaikan masalah dan eksternal adalah dukungan lingkungan sosialnya.
"Tulisan terakhir adalah ekspresi perpisahan," ungkapnya.
“Orang yang tidak punya tujuan hidup jelas, atau orang yang hidup dalam kemarahan, ketidakberdayaan, atau orang yang menarik diri dari lingkungan sosial itu berisiko besar bunuh diri. Perempuan lebih rentan,” imbuhnya.
Dia mengatakan, pada kasus seperti itu, lingkungan sosial, termasuk teman-temannya harus lebih peka jika ada orang yang tiba-tiba berperilaku tidak seperti biasanya.
“Kita harus jadi lingkungan yang positif bagi orang lain. Misal ada perubahan perilaku, dari ceria menjadi murung, harus disapa, ditanyakan, jadi ada yang menolong," katanya.
"Sebab jika ada seseorang sudah merasa tidak berdaya, tidak ada support sosial, itu menambah potensi,” tandasnya.
Editor : Aryanto
Artikel Terkait