PEMALANG, iNewsPemalang.id — Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia (1945–1947), Pemalang mencatatkan sejumlah tokoh penting yang mewarnai perjuangan lokal dan nasional. Salah satu di antaranya adalah K.H. Makmur, ulama sekaligus pejuang yang sempat menjabat sebagai Bupati Pemalang.
Menurut catatan sejarah, K.H. Makmur diangkat melalui rapat rakyat yang digelar di Alun-Alun Pemalang pada 30 Desember 1946. Namun masa kepemimpinannya tidak berlangsung lama. Ia gugur ditembak pasukan Belanda pada 14 Oktober 1947 lantaran menolak bekerja sama dengan penjajah.
Pemerintah daerah mengenang K.H. Makmur sebagai Tokoh Pemalang sekaligus sosok ulama pejuang yang berperan ganda — penyuluh agama sekaligus pemimpin politik — dalam masa transisi menuju kemerdekaan. Kisahnya mencerminkan bagaimana tokoh keagamaan di daerah turut menjadi penggerak politik dan perlawanan rakyat.
Supangat dan Revolusi Sosial Pemalang
Selain perlawanan terhadap penjajah, Pemalang juga mengalami Revolusi Sosial pada periode Oktober–Desember 1945. Dalam periode ini, terjadi perubahan besar pada struktur pemerintahan lokal.
Sebuah catatan menyebut bahwa pada 20 Oktober 1945, rapat umum di Alun-Alun Pemalang menetapkan Supangat sebagai bupati de facto, menggantikan pejabat sebelumnya yang dicurigai pro-kolonial. Gerakan massa ini, yang dikenal dengan sebutan “dombreng”, menandai pergeseran kekuasaan dari birokrat lama kepada tokoh-tokoh nasionalis dan rakyat biasa.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa perjuangan di Pemalang tidak semata-mata berupa perlawanan bersenjata terhadap Belanda, tetapi juga pergolakan sosial internal yang menata ulang struktur kekuasaan lokal pascakemerdekaan.
Siti Soendari: Pionir Jurnalis Perempuan dari Pemalang
Nama Siti Soendari Darmobroto menambah daftar tokoh berpengaruh asal Pemalang. Lahir di daerah ini, Siti Soendari dikenal sebagai pelopor jurnalis perempuan Indonesia dan aktivis sosial di masa kolonial.
Ia menempuh pendidikan di Hollandsche Burger School (HBS) Semarang, lalu melanjutkan studi hingga ke Rotterdam, Belanda. Dalam karier jurnalistiknya, Siti Soendari aktif menulis tentang isu perburuhan, hak perempuan, dan semangat nasionalisme.
Kendati kiprahnya tidak sepopuler tokoh laki-laki sezamannya, keberadaan Siti Soendari menegaskan bahwa Pemalang turut melahirkan perempuan-perempuan tangguh yang berani mengambil peran di ruang publik.
Jejak Gatot Subroto di Tanah Pemalang
Meski Jenderal Gatot Subroto bukan putra daerah Pemalang—ia lahir di Banyumas—nama sang pahlawan nasional turut melekat dalam memori sejarah Pemalang.
Di Desa Belik, berdiri sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang jasanya. Letaknya di perbatasan Pemalang–Purbalingga menjadikannya simbol penghubung semangat perjuangan antarwilayah. Kehadiran monumen ini menegaskan bahwa nilai-nilai nasionalisme dan penghormatan terhadap pahlawan turut berakar kuat di tanah Pemalang.
Refleksi Historis: Pemalang dalam Arus Zaman
Sejarah Pemalang tidak hanya mencatat peristiwa-peristiwa besar, tetapi juga lapisan-lapisan sosial yang membentuk identitas daerah. Dari masa Kerajaan Pajang dan Mataram, era kolonial Belanda, hingga masa revolusi kemerdekaan, Pemalang menjadi simpul penting jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) sekaligus pintu menuju pedalaman Jawa Tengah.
Berbagai tokoh muncul dari dinamika tersebut:
- Pangeran Benowo, pelopor pembentukan wilayah lokal;
- R. Mangoneng, pejuang antikolonial;
- K.H. Makmur dan Supangat, simbol perjuangan rakyat dan revolusi sosial;
- Siti Soendari, ikon emansipasi perempuan;
- Jenderal Gatot Subroto, figur nasional yang meneguhkan semangat kebangsaan di wilayah ini.
Dari kisah mereka, dapat disimpulkan bahwa perjuangan rakyat Pemalang bukan hanya tentang senjata dan pertempuran, tetapi juga tentang keberanian sosial, intelektual, dan moral dalam memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.
Editor : Aryanto
Artikel Terkait
