PEMALANG, iNewsPemalang.id – Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi tonggak sejarah bangsa Indonesia, saat Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta. Namun di Pemalang, gema proklamasi itu baru terasa beberapa hari kemudian. Melalui siaran radio dan surat kabar yang berasal dari kota-kota sekitar seperti Tegal dan Pekalongan, kabar kemerdekaan akhirnya sampai ke telinga rakyat Pemalang.
Meski tanpa upacara resmi atau dokumentasi detik-detik proklamasi di daerah ini, berita tersebut langsung membakar semangat nasionalisme rakyat. Para pemuda, guru, ulama, dan tokoh masyarakat mulai bangkit, bersiap mengambil bagian dalam perjuangan membangun dan mempertahankan republik yang baru lahir.
Revolusi Sosial di Pemalang: Api yang Membakar Tiga Daerah
Beberapa bulan pasca-proklamasi, situasi di Pemalang tidak serta-merta tenang. Justru, sebuah gejolak besar muncul dalam bentuk Revolusi Sosial Tiga Daerah—melibatkan Pemalang, Tegal, dan Brebes—yang berlangsung antara Oktober hingga Desember 1945. Akar peristiwa ini tumbuh dari kekecewaan rakyat terhadap sistem pemerintahan lokal yang dinilai masih mempertahankan pola kolonial, bahkan setelah Indonesia merdeka.
Rakyat, yang sebelumnya menderita akibat kebijakan kolonial seperti kerja paksa (romusha), pengumpulan padi secara paksa, dan penyitaan bahan makanan, mulai melawan. Kelompok-kelompok bawah tanah, termasuk unsur bekas kader Partai Komunis Indonesia (PKI), muncul kembali dan membentuk Front Persatuan Perjuangan Priangan dan Pantura (GBP3D). Tujuannya: menggulingkan elit birokrasi lama yang dianggap kolaborator penjajah.
Puncak perubahan terjadi pada 20 Oktober 1945, saat sebuah rapat umum di Alun-Alun Pemalang mengangkat Supangat, seorang tokoh pemuda, sebagai Bupati baru. Ia menggantikan bupati sebelumnya yang dicurigai berpihak pada pemerintahan kolonial. Gerakan rakyat pun berlangsung massif—dikenal dengan istilah “dombreng”—di mana para pamong praja lama diarak, dipermalukan, bahkan mendapat perlakuan kekerasan dari massa yang marah.
Revolusi sosial ini membuka jalan bagi perubahan struktur kekuasaan lokal. Para birokrat baru umumnya berasal dari kalangan Islam dan nasionalis, menciptakan harapan baru akan pemerintahan yang lebih dekat kepada rakyat.
Mempertahankan Kemerdekaan: Gerilya dan Perlawanan Bersenjata
Tak lama setelah revolusi sosial, ancaman datang dari luar. Pasukan Belanda, membonceng Sekutu, kembali menginjakkan kaki di Indonesia. Di Pemalang, rakyat tidak tinggal diam. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bersama laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah bahu membahu mengorganisasi perlawanan bersenjata. Strategi gerilya digunakan untuk menghadang kekuatan asing yang hendak merebut kembali kedaulatan.
Editor : Aryanto
Artikel Terkait