Pemalang, iNews.id - Pulau Jawa memiliki beragam adat, budaya, maupun kesenian yang khas. Tak terkecuali tata bahasa yang digunakan untuk komunikasi sehari hari. Terlepas dari itu, Pulau Jawa ternyata memiliki keunikan yang menonjol dalam penggunaan bahasa di masing - masing daerah.
Misalnya wilayah Jawa bagian timur seperti Yogyakarta atau Solo yang menggunakan dialek 'Mbandhek', sedangkan jika bergeser ke Jawa Tengah bagian barat maka akan ditemukan dialek yang dikenal dengan 'Bahasa Ngapak' atau Banyumasan.
Kedua dialek tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Misalnya dialek Mbandhek yang ditandai dengan akhiran 'a' diganti 'o'. Sedangkan Bahasa Ngapak untuk akhiran 'a' akan tetap dibaca 'a'. Contohnya kata 'siapa', dalam dialek Mbandhek maka akan berubah menjadi 'sopo', sedangkan dalam Bahasa Ngapak akan disebut dengan 'sapa'.
Contoh lainnya yaitu pada penggunaan huruf 'K' di akhir kata. Dalam dialek Bahasa Ngapak, huruf tersebut akan terucap dengan jelas, sedangkan pada dialek Mabndhek justru sebaliknya. Sehingga Bahasa Ngapak seringkali dijuluki dengan 'Bahasa Medhok'.
Perbedaan tersebut tentunya disebabkan karena sejarah masa lampau dari nenek moyang Pulau Jawa. Sebagai masyarakat Pemalang pasti penasaran mengenai asal usul Bahasa Ngapak yang digunakan dalam komunikasi sehari - hari.
Hal tersebut bermula pada saat nenek moyang daerah Banyumas yang diketahui berasal dari wilayah Kutai, Kalimantan. Ia kemudian bermigrasi ke Pulau Jawa dan menyebar ke berbagai wilayah melalui Cirebon.
Kemudian salah seorang dari mereka yang mendiami wilayah Gunung Slamet kemudian mendirikan sebuah kerajaan bernama Galuh Purba. Kerajaan tersebut meliputi wilayah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kedu, Kebumen, Kulonprogo, dan Purwodadi.
Namun, kerajaan ini kemudian terpecah menjadi dua bagian yakni Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah dan Galuh di Jawa Barat. Dari keturunan Kerajaan Galuh Purba inilah muncul dialek bahasa Jawa Kulon yang meliputi Sub Dialek Banten Lor, Sub Dialek Cirebon, Sub Dialek Banyumasan, dan Sub Dialek Bumiayu. Dialek-dialek itulah yang kemudian dikenal dengan Bahasa Ngapak.
Diketahui, selain karena wilayah geografis perbedaan kedua bahasa ini juga dipengaruhi oleh kondisi politik kerajaan. Dimana Kerajaan Mataram yang berhasil menundukkan Kerajaan Galuh Purba kemudian membuat kebijakan mengenai kedisiplinan dalam bertutur kata.
Dari kebijakan tersebut, muncullah tiga tingkatan bahasa seperti “kromo alus”, “kromo lugu”, dan “ngoko”. Sehingga wilayah terdekat dengan pusat pemerintahan Mataram otomatis mengalami perubahan dalam berbahasa.
Sementara itu, wilayah Jawa Tengah bagian barat yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan tidak begitu terpengaruh oleh aturan tingkatan bahasa. Hal ini lah yang menyebabkan Bahasa Ngapak disebut sebagai bahasa murni orang jawa atau yang disebut dengan Jawadwipa.
Heru Satoto selaku pengamat budaya juga menambahkan bahwa bahasa yang digunakan dalam dialek Mbandhek merupakan bahasa baku yang telah mengalami lima tahap perubahan perkembangan sejarah. Sedangkan Bahasa Ngapak adalah bahasa yang tidak terdampak pengaruh politik, alias Bahasa Jawa asli.
Selain itu menurut ilmuwan bahasa Suhardi, Bahasa Ngapak menyimbolkan suatu kesederhanaan dan kelugasaan. Dikarenakan Bahasa Ngapak dianggap sebagai bahasa yang apa adanya ( blak - blakan ).
Untuk itu, Bahasa Ngapak seperti 'nyong' maupun 'aja kaya kuwe' sudah sepatutnya untuk dilestarikan. Sehingga Pulau Jawa tidak kehilangan kemurnian bahasanya.
Editor : Lazarus Sandya Wella