PEMALANG, iNewsPemalang.id - Negara Indonesia terdiri atas banyak pulau yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Meskipun di era modern, nampaknya masih terdapat sejumlah wilayah pedalaman yang mempertahankan tradisi nenek moyangnya. Hal tersebut tentu berdampak positif bagi bertahannya adat istiadat asli Nusantara.
1. Kampung Naga, Jawa Barat
Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan adat yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sebutan Naga sendiri berasal dari Bahasa Sunda 'nagawir' yang artinya dikelilingi tebing atau jurang (gawir).
Masyarakat Kampung Naga sangat memperhatikan kemurnian alamnya, dengan melarang penggunaan kayu bakar yang diambil dari pohon. Sebagai gantinya, masyarakat dianjurkan untuk mengambil ranting - ranting pohon yang sudah jatuh.
Diketahui, bangunan rumah di Kampung Naga berbentuk layaknya rumah panggung dengan jumlah 112 unit. Dengan kuantitas yang cukup sedikit, tentu membuat kampung ini memiliki nuansa asri yang menyejukkan.
Kampung Naga sendiri memiliki sebuah larangan bagi para wisatawan, yaitu dengan tidak memperbolehkan para pengunjung masuk ke dalam Hutan Larangan, apalagi sampai memetik buahnya. Alih alih karena hal mistis, hal tersebut justru sebagai upaya untuk menjaga kelestarian alam.
2. Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur
Wae Rebo merupakan desa tradisional yang berada di Kampung Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebutan 'Wae' diartikan sebagai 'air' dalam Bahasa Manggarai.
Uniknya, di kampung ini hanya terdapat 7 rumah utama atau yang disebut sebagai Mbaru Niang. Mbaru Niang merupakan sebuah rumah berbentuk lumbung kerucut sebagai wujud keselarasan manusia dengan alam serta dinila sebagai cerminan fisik dari kehidupan sosial Suku Manggarai.
Sebagai desa yang dijuluki 'desa di atas awan', usia kampung adat ini terbilang cukup legendaris. Pasalnya, kampung ini disebutkan sudah berumur 1200 tahun dan sudah memasuki generasi ke 20. Dimana 1 generasi berusia 60 tahun lamanya.
Selain itu, sebanyak 44 keluarga di kampung ini rata - rata berprofesi sebagai petani. Sektor pertaniannya pun cukup beragam, diantaranya kopi, cengkeh, dan umbi - umbian.
3. Suku Kajang Ammatoa, Bulukumba, Sulawesi Selatan
Berikutnya yaitu Desa Adat Suku Kajang yang berada di Desa Tana Toa, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Secara geografis desa ini dibagi menjadi dua bagian, yakni Kajang Dalam (Suku Kajang, mereka disebut “Tau Kajang”) dan Kajang Luar (orang-orang yang berdiam di sekitar Suku Kajang yang relatif modern, mereka disebut “Tau Lembang).
Dengan dipimpin oleh seorang Ammatoa ( julukan pemimpin di Suku Kajang yang diperoleh secara turun temurun ), desa tersebut berhasil menyandang predikat sebagai salah satu suku paling ditakuti di dunia.
Bukan tanpa alasan, Desa Kajang memang terkenal dengan hukum adat yang ekstrem dan sakral. Hal itu digambarkan lewat tradisinya yang dusebut 'Doti'. Doti sendiri merupakan ilmu sejenis santet yang digunakan untuk menyakiti atau menghilangkan nyawa orang lain.
Bukan hanya itu, saat mengunjungi desa ini pun para wisatawan diharuskan untuk mengenakan pakaian serba hitam dengan tidak menggunakan alas kaki.
4. Desa Adat Ke’te Kesu, Tana Toraja
Desa adat ini nampaknya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Desa ini terletak Kampung Bonoran Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Masyarakat Desa Kete Kesu masih menjalankan tradisi nenek moyangnya dengan menyimpan mayat di dalam goa. Mayat - mayat tersebut merupakan jenazah para leluhur yang disimpan di dinding goa dengan cara digantung menggunakan peti berbahan kayu.
Selain itu, di desa adat ini juga terdapat kuburan batu yang usianya diperkirakan lebih dari 500 tahun. Kuburan tersebut memiliki bentuk yang beraneka ragam, seperti kerbau maupun babi. Gambar - gambar tersebut dibuat secara tradisional dengan cara diukir dan dipahat oleh tangan - tangan terampil masyarakat Toraja.
Suku Toraja masih menjalankan tradisi yang diwariskan secara turun temurun tersebut. Menurutnya, menguburkan mayat di tanah dapat mengotori elemen tempat bertumbuhnya makanan.
Karena itulah mereka menguburkan keluarga yang telah meninggal di lorong gua pada tebing bukit batu. Aktivitas tersebut merujuk pada suatu kepercayaan Suku Toraja yang disebut Alu Todolo.
Selain itu, tempat tinggal Suku Toraja juga memiliki ciri khas yang unik dengan meletakkan kepala kerbau di depan pintu utama. Simbol tersebut mengandung arti kemakmuran dan kesejahteraan penghuninya.
Sebagai informasi, bangunan rumah di Desa Adat Kete Kesu biasa disebut dengan 'Tongkonan'. Bangunan tersebut dibuat menghadap ke utara, karena masyarakat Suku Toraya mempunyai kepercayaan bahwa para leluhurnya berasal dari utara.
5. Trunyan, Bali
Tak kalah unik dari beberapa kampung adat diatas, Desa Trunyan juga masih mempertahankan sebuah tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun. Desa ini terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, provinsi Bali.
Menurut Pemandu wisata Komang Gita, penamaan desa ini diambil dari nama sebuah pohon yang sudah berusia ratusan tahun. Konon katanya, pohon tersebut memiliki aroma wangi yang tercium hingga ke Pulau Jawa.
"Pohon ini (Taru Menyan) asal mula nama Desa Trunyan diambil dari nama Taru Menyan yang membuat mayat-mayat yang diletakkan di bawahnya tidak tercium bau busuk. Katanya itu biar wangi pohon ini tidak tercium orang di luar sana dan menjadi sasaran orang-orang jahat," kata Pemandu wisata, Komang Gita.
Sebagai penganut agama Hindu, masyarakat Desa Trunyan memiliki beberapa persyaratan untuk para mayat yang hendak dikuburkan di pohon sakral tersebut. Diantaranya :
1. Pemakaman khusus bayi dan anak-anak.
2. Pemakaman orang dewasa yang meninggal secara wajar.
3. Pemakaman untuk jasad yang meninggal karena kecelakaan dan lain sebagainya.
Editor : Lazarus Sandya Wella