GROBOGAN, iNewsPemalang.id - Seorang bocah SD berinisial AD (10) di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah meninggal karena penyakit HIV/AIDS. Sebelumnya, ayah dan ibu dari anak ini telah lebih dulu meninggal dunia 3 tahun lalu akibat penyakit yang sama.
Sonto (62) warga Desa Sugihmanik, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yang merupakan kakek dari bocah tersebut tak kuat menahan sedih karena kehilangan cucunya.
Rasa duka mendalam terpancar dari raut wajah kakek 62 tahun itu, karena satu keluarga anaknya tak bisa diselamatkan akibat penyakit HIV/AIDS.
Pak Tho-sapaan akrab kakek dari bocah malang itu menjelaskan, sebelum meninggal cucunya sudah jarang mau mengonsumsi obat untuk mencegah berkembangnya penyakit mematikan itu.
"Saya ingat betul, sebelum meninggal saya dan cucu pergi ke Kota Salatiga menebus obat. Tapi selama sebulan, obatnya jarang dikonsumsi cucu saya sampai akhirnya meninggal dunia beberapa waktu lalu," kata dia, Jumat (26/4/2024).
Sebelum sang cucu meninggal, kata dia, anak perempuan semata wayangnya yang merupakan ibu AD, telah lebih dulu berpulang 3 tahun lalu.
Dia lalu menceritakan usai acara 1.000 hari anaknya, cucunya kesayangannya itu mengatakan ingin pulang melihat sang ibu. Sampai beberapa waktu kemudian, cucunya pun menyusul ayah dan ibunya yang telah mendahului.
"Ya saya sudah minta dan rayu ke cucu sebelum meninggal agar berolahraga, minum obat hingga makan banyak. Tapi anak-anak ya seperti itu lebih ngeyel," imbuhnya.
Terpisah, salah seorang pengidap ODHA, Yuli mengatakan, ada ribuan pengidap ODHA di Kabupaten Grobogan, namun banyak yang enggan terbuka, bahkan sungkan menebus obat dari pemerintah.
Dia mengatakan, tertutupnya pengidap ODHA itu berbahaya, karena bisa menularkan virus melalui luka, darah dan atau hubungan badan.
Padahal baginya, sebagai penyandang ODHA tidaklah berat jika masyarakat mengetahui kondisinya. Namun yang melaporkan diri sebagai pengidap ODHA dan menebus obat hanya ratusan orang, padahal jumlahnya ribuan.
"Enggak kalau saya (dihujat atau dikucilkan). Saya malah sering jadi narasumber dan saya rasa masyarakat peduli dengan orang seperti saya (penyandang ODHA)," kata Yuli.
"Menurut saya tidak hanya itu (takut mengakui) tapi lebih utama adalah bagaimana mendongkrak kesadaran pengidap seperti kita ini menebus obat dan menjaga stabilitas tubuh," imbuhnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Grobogan dr Slamet menyampaikan, ada kecenderungan pengidap ODHA lebih tertutup. Terutama menutup statusnya agar bisa diterima masyarakat.
Kondisi itu justru berdampak psikologis pada pengidap ODHA untuk kesadaran konsumsi obat khusus dan berolahraga. Sebab itu, melalui gerakan Puskesmas Keliling, dinkes mengharapkan para pelaku ODHA tetap tersentuh dan mendapatkan pelayanan terbaik.
"Jadi memang kecenderungan itu (takut) kepada masyarakat itu ada. Wajar karena mereka (pengidap ODHA) ini akan dikucilkan juga," katanya.
"Tapi yang terpenting jangan sampai menularkan ke masyarakat lain. Supaya bisa ditekan secara baik penyebaran virus mematikan yang belum ada obatnya ini," tandasnya.
Editor : Aryanto