JAKARTA, iNewsPemalang.id - Di sebuah sudut kota, seorang mahasiswa merobek bungkus mi instan untuk makan malamnya. Di tempat lain, seorang pekerja kantoran memilih sebungkus gorengan untuk mengganjal perut. Pemandangan biasa, namun di baliknya tersimpan sebuah dilema besar bangsa ini: saat tuntutan perut yang kenyang dan dompet yang tipis lebih berkuasa daripada kebutuhan gizi.
Ini bukan sekadar asumsi. Laporan terbaru dari Fix My Food dan UNICEF membunyikan alarm keras: lebih dari seperempat anak muda Indonesia (27 persen) mengaku lebih mengutamakan makanan yang murah dan mengenyangkan. Gizi? Itu urusan nomor dua, atau mungkin nomor tiga setelah rasa.
Syafa Syahrani, seorang peneliti dari Fix My Food, melihat ini sebagai cerminan tekanan ekonomi yang nyata. Bagi pelajar dan mahasiswa, pilihan seringkali jatuh pada makanan cepat saji atau camilan kemasan—kalori instan dengan harga terjangkau yang menjadi penyelamat di tanggal tua.
Ironisnya, seperti diungkapkan oleh dr. Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan, "jebakan" ini justru lebih sering menjerat keluarga berpendapatan menengah ke bawah.
Di tengah kesibukan mencari nafkah, kepraktisan makanan siap saji yang murah menjadi dewa penolong, mengalahkan repotnya memasak bahan segar yang harganya kian melambung.
Namun, harga murah itu datang dengan biaya tersembunyi yang harus dibayar di kemudian hari. dr. Nadia mengingatkan, di balik setiap bungkus makanan instan itu, bersembunyi risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan kolesterol tinggi. Sebuah bom waktu kesehatan yang detaknya semakin cepat, diperparah oleh gaya hidup modern yang minim gerak.
Editor : Aryanto
Artikel Terkait