get app
inews
Aa Text
Read Next : Menilik Monumen Jenderal Gatot Subroto di Desa Belik, Pahlawan Nasional dari Banyumas

Jejak Perjuangan Jenderal Soedirman: dari Guru Muhammadiyah jadi Panglima Besar TNI

Kamis, 07 Agustus 2025 | 10:53 WIB
header img
Panglima Besar Jenderal Soedirman. Foto: Dok.net

PEMALANG, iNewsPemalang.id – Jenderal Besar TNI (Anumerta) Soedirman adalah sosok sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916, ia dikenal sebagai Panglima Besar pertama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964.

Soedirman berasal dari keluarga rakyat biasa namun kemudian diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Sejak kecil, ia tumbuh sebagai siswa rajin dan aktif dalam kegiatan keagamaan dan organisasi kepanduan Muhammadiyah. Kedisiplinan dan kepemimpinannya sudah tampak sejak muda, dan ia sangat dihormati karena ketaatan agamanya.

Setelah berhenti dari sekolah keguruan, Raden Soedirman mengabdikan diri sebagai guru dan kemudian kepala sekolah Muhammadiyah di Cilacap. Ia juga menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah setempat pada 1937. Saat Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar hingga akhirnya bergabung dengan organisasi militer bentukan Jepang, PETA, pada 1944. Di sana ia menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Karena keterlibatannya dalam pemberontakan terhadap Jepang, ia ditangkap dan diasingkan ke Bogor.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Soedirman meloloskan diri dan menemui Presiden Soekarno di Jakarta. Ia kemudian dipercaya mengawasi penyerahan tentara Jepang di wilayah Banyumas dan membentuk divisi lokal Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI. Pada 12 November 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dalam sidang militer di Yogyakarta, mengungguli Oerip Soemohardjo yang kemudian menjadi Kepala Staf Umum.

Sebelum resmi dilantik, Soedirman memimpin perlawanan penting di Ambarawa melawan pasukan Inggris dan Belanda. Kemenangan itu mengangkat namanya sebagai simbol perlawanan rakyat dan memperkuat legitimasi militernya. Ia dilantik sebagai Panglima Besar TNI pada 18 Desember 1945.

Dalam tiga tahun berikutnya, Panglima Besar Jenderal Soedirman menghadapi berbagai tantangan, termasuk kegagalan diplomasi dalam Perjanjian Linggarjati dan Renville yang merugikan Indonesia, serta konflik internal seperti pemberontakan dan upaya kudeta. Stres dan tekanan berat tersebut memicu penyakit tuberkulosis yang dideritanya, hingga paru-paru kanannya harus dikempeskan pada akhir 1948.

Meski dalam kondisi sakit, Soedirman tetap memimpin perjuangan. Saat Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dan menduduki Yogyakarta, Soedirman menolak menyerah. Ia memimpin perang gerilya selama tujuh bulan, bergerak dari hutan ke hutan bersama pasukan kecil dan dokter pribadinya. Dari markas di lereng Gunung Lawu, ia mengomandoi perlawanan termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin Letkol Soeharto.

Setelah Belanda mulai menarik pasukannya dan pengakuan kedaulatan Indonesia semakin dekat, Soedirman kembali ke Yogyakarta pada Juli 1949. Namun kondisi kesehatannya memburuk. Ia pensiun dan menetap di Magelang hingga wafat pada 29 Januari 1950, sebulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi.

Kepergian Soedirman menjadi duka nasional. Ribuan rakyat menghadiri pemakamannya di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Hingga kini, sosoknya dikenang sebagai simbol perjuangan dan keteguhan. Perjalanan gerilyanya dijadikan tradisi bagi taruna Akademi Militer, dan namanya diabadikan di berbagai jalan, universitas, museum, hingga uang kertas rupiah.

Editor : Aryanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut