Dalam perjalanan menuju Mataram, pangeran melihat gubuk dan hendak menghampiri untuk mengobati lukanya. Nyai Pedaringan mencoba mengobati. Tak lama, Pangeran Purbaya berpamitan dan meningalkan sebuah keris sebagai tanda terima kasih.
Sang Pangeran berpesan bahwa keris yang bernama Simonglang itu agar dijaga dan dirawat. Diharapkan keris itu dapat menjadi pusaka daerah itu dan yang berhak memiliki adalah anak turun keluarga Pedaringan.
Siapa pun tidak berhak nengambil keris itu kecuali Pangeran Purbaya, atau orang yang jarinya pangkas seperti jari Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya meneruskan perjalanan ke selatan.
Sore hari, Ki Pedaringan baru sampai di gubuknya. Ki Pedaringan kesal dan heran karena biasanya Nyai Pedaringan membawakan makanan tetapi sampai sore Nyai Pedaringan tidak datang. Kesal menjadi curiga karena melihat Nyi Pedaringan membawa sebuah keris yang biasanya dimiliki oleh seorang lelaki. Nyi Pedaringan menjelaskan dari mana ia mendapatkan keris itu. Tapi, Ki Pedaringan tidak mau menerimanya, hingga akhirnya keduanya bertengkar.
Akhirnya Nyi Pedaringan mencabut keris dan memotong jarinya untuk membuktikan rasa cintanya. Darah segar mengalir dari jari-jarinya. Nyi Pedaringan bersumpah jika darah yang ia teteskan di bunga widuri yang putih berubah menjadi ungu pertanda bahwa cintanya masih suci. Bunga widuri itupun berubah warna menjadi ungu.
Melihat kejadian tadi Ki Pedaringan menyesal dan meminta maaf kepada Nyi Pedaringan. Untuk menebus kesalahannya, Ki Pedaringan menyusul Pangeran Purbaya. Tapi sampai saat itu Ki Pedaringan tidak pernah kembali.
Editor : Lazarus Sandya Wella