Keterbatasan akses informasi yang dimiliki oleh masyarakat desa terkait pengelolaan dana desa, layanan publik, dan sebagainya, juga menjadi celah korupsi.
Masyarakat harus mendorong Badan Permusyawaratan Desa (BPD), agar optimal menjalankan fungsinya dalam mengawasi penggunaan anggaran desa.
Keterbatasan atau ketidaksiapan kepala desa dan pengelola lainnya ketika harus mengelola dana dalam jumlah besar, juga menjadi salah satu faktor rentannya korupsi.
Menurut ICW, terdapat 5 titik celah yang biasa dimanfaatkan aparat desa untuk mengorupsi dana desa, yaitu:
- Proses perencanaan,
- Proses perencanaan pelaksanaan (nepotisme dan tidak transparan),
- Proses pengadaan barang dan jasa dalam konteks penyaluran dan pengelolaan dana desa (mark up, fiktif, dan tidak transparan),
- Proses pertanggungjawaban (fiktif), dan
- Proses monitoring dan evaluasi (formalitas, administratif, dan telat deteksi korupsi).
Modus korupsi perangkat desa
Rizki Zakaria dalam INTEGRITAS, jurnal antikorupsi KPK, menuturkan, korupsi yang terjadi di pemerintahan desa tak hanya karena alokasi dana desa yang besar tiap tahun, tapi juga “tak diiringinya prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam tata kelola keuangan desa,” tulisnya.
Editor : Aryanto