PEMALANG, iNewsPemalang.id – Kabupaten Pemalang, yang kini dikenal sebagai salah satu wilayah di pesisir utara Jawa Tengah, menyimpan sejarah panjang terkait pendudukan kolonial Belanda. Proses kolonialisasi di wilayah ini berlangsung secara bertahap sejak abad ke-17, seiring dengan meluasnya pengaruh dagang dan militer Belanda di Pulau Jawa.
Awal Masuknya VOC ke Pesisir Utara Jawa
Pendudukan Belanda di Pemalang tak lepas dari ekspansi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda yang aktif di wilayah pesisir utara Jawa sejak awal 1600-an. VOC membangun relasi dagang dan aliansi militer dengan kerajaan-kerajaan lokal, yang kemudian digunakan untuk memperkuat kendali atas wilayah strategis seperti Tegal dan Pekalongan—dua daerah yang berbatasan langsung dengan Pemalang.
Pemalang pada masa itu masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Namun, kekuatan Mataram mulai melemah setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti tahun 1755, yang membagi wilayah kekuasaan Mataram menjadi dua: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Fragmentasi kekuasaan ini membuka jalan bagi Belanda untuk memperluas pengaruhnya di wilayah-wilayah pesisir, termasuk Pemalang.
Transisi dari VOC ke Hindia Belanda
Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799 akibat kebangkrutan, seluruh wilayah dan asetnya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh VOC, termasuk Pemalang, resmi menjadi bagian dari koloni Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial kemudian menerapkan sistem pemerintahan baru dengan membentuk wilayah administratif kabupaten. Dalam struktur ini, Belanda menunjuk para bupati pribumi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan kolonial. Arsip pemerintahan mencatat bahwa Bupati pertama Pemalang mulai menjabat pada awal abad ke-19 di bawah pengawasan Residen Belanda di Pekalongan.
Eksploitasi Melalui Sistem Tanam Paksa
Salah satu fase paling berat dalam sejarah kolonial Pemalang terjadi pada dekade 1830-an, ketika pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Rakyat Pemalang dipaksa menanam tanaman ekspor seperti tebu, kopi, dan nila untuk kepentingan pasar Eropa.
Sistem ini memicu penderitaan luas. Tanah milik rakyat disita, tenaga kerja dieksploitasi, dan hasil bumi tidak dinikmati oleh masyarakat lokal. Keuntungan besar justru mengalir ke kas pemerintah kolonial dan perusahaan-perusahaan Eropa.
Editor : Aryanto
Artikel Terkait