PEMALANG, iNews.id - Bulan Suro atau Sasi Sura, adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Kalender Jawa merupakan penanggalan yang digunakan Kesultanan Mataram pada masa kepimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma tahun 1613-1645.
Di bulan Suro ini, bagi sebagian masyarakat Jawa diyakini memiliki keistimewaan tersendiri. Tak heran, bila kedatangan bulan Suro pun dinanti-nantikan bagi sebagian kalangan masyarakat Jawa.
Berdasarkan perhitungan kalender Masehi, malam Satu Suro 2022 bertepatan dengan tanggal 30 Juli 2022.
Sedangkan dalam kalender islam atau hijriah, Satu Suro 2022 bertepatan dengan 1 (Satu) Muharram 1444 Hijriah.
Pada malam Satu Suro, juga dipercayai kental dengan mitos yang hingga sampai saat ini masih banyak diperbincangkan.
Konon, menurut cerita yang sudah tak asing lagi di telinga masyarakat, malam Satu Suro adalah malam dimana para makhluk halus berpesta dan bergentayangan.
Masyarakat pada zaman dulu mempercayai, bila pada malam Satu Suro akan muncul musibah.
Sehingga, masyarakat pada zaman dulu melarang berbagai kegiatan di malam Satu Suro.
Kegiatan yang dilarang di malam Satu Suro diantaranya yaitu hajatan, bepergian, pindahan rumah dan tidak boleh banyak bicara, serta hal-hal yang berkaitan sejenis tersebut.
Lantas, benarkah malam Satu Suro itu sedemikian horor dan menyeramkan?
Staf pengajar Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, Widyo Nugrahanto menyatakan keprihatinannya terkait tudingan miring terhadap budaya lokal seperti tradisi malam Satu Suro.
Padahal, malam Satu Suro, menurut Anto, adalah ritual berdo'a di keraton yang merupakan bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam.
Dimana Sultan Agung yang merupakan raja Jawa pertama yang memadukan kalender Islam dan Jawa, sehingga muncul budaya baru, yang salah satunya Satu Suro.
Ritual-ritual yang dijalankan pada malam Satu Suro, oleh sebagian orang, dianggap mistis dan sesat.
Seperti membakar dupa kemenyan untuk pengharum atau pewangi ruangan saat ritual berdo'a, dianggapnya mengundang bangsa halus jin atau hantu.
Hal-hal tersebut akhirnya yang membuat keliru, dan otomatis ritual malam Satu Suro pun dianggap seram dan mistis.
Sehingga, menurut Anto, seperti film Malam Satu Suro yang terkenal itu sebenarnya mengikuti apa yang sudah tertanam dan menancap di kepala masyarakat.
Ditambah lagi, cerita-cerita horor yang beredar di masyarakat sudah digiring kepada mitos.
Sudah pasti, bila kisah-kisah menyeramkan dihubung-hubungkan secara masif dan terus-menerus, maka tradisi atau budaya lokal terancam punah.
Editor : Abdul Kadir